bubur samin di masjid darussalam

Kota Surakarta atau Kota Solo merupakan salah satu kota peradaban Islam di Pulau Jawa. Berdirinya Kesultanan Mataram menjadikan Surakarta sebagai ibu kota kerajaan pada masa itu. Sebagai ibukota Kerajaan Mataram, Surakarta menarik banyak orang dari seluruh penjuru Nusantara. Kedatangan mereka ke Surakarta sarat dengan berbagai kepentingan seperti, berdagang, bekerja, hingga berdakwah. Banyak orang dari berbagai suku di Nusantara datang dan tinggal di Surakarta, salah satunya suku Banjar yang berasal dari Kalimantan. Suku Banjar telah lama ada di Surakarta, hingga membuat pengaruh pada tradisi selama bulan Ramadhan di Surakarta yang hingga saat ini masih terjaga. Salah satu tradisi kuliner unik yang saat ini masih terjaga adalah membagikan bubur Samin. Bagaimana ceritanya?

Pemukiman orang Banjar di Solo

Sejak menjadi ibukota kesultanan Mataram, Surakarta menarik minat pendatang dari Banjar dan Pulau Kalimantan lainnya. Orang-orang dari Banjar ini awalnya datang ke ibukota Mataram untuk berdagang berbagai logam mulia dan perhiasan, seperti intan dan permata hasil tambang di Martapura. Seiring berjalannya waktu, orang-orang Banjar mulai menetap dan tersebar di seluruh wilayah Surakarta. Namun, komunitas orang-orang Banjar banyak terdapat di Jayengan, Serengan, Surakarta. Mereka tinggal dan beranak pinak serta bermata pencaharian disana sebagai pedangang, pengrajin emas dan perhiasan. Banyaknya pengrajin emas dan perhiasan dalam satu wilayah ini menjadi cikal bakal nama Kampung Kemasan (kampung penjual dan pengrajin emas).

Akulturasi Budaya Banjar dan Surakarta

Para pendatang dari Kalimantan ini berinteraksi dengan masyarakat setempat hingga memberikan pengaruh pada pembangunan dan perkembangan Kampung Kemasan. Mereka mengenalkan berbagai industri kreatif sebagai pengrajin kemasan dan perhiasan sehingga muncul ekosistem perdagangan perhiasan disana. Tidak sedikir orang-orang Banjar yang berada di Jayengan bermukim di sekitar Langgar Jayengan. Mereka membaur dengan masyarakat sekitar, dan bergotong royong untuk membuat Langgar Jayengan menjadi masjid yang lebih besar. Sehingga terbentuklah sebuah masjid menggantikan Langgar Jayengan dengan nama Masjid Darussalam. Di Masjid Darussalam ini menjadi salah satu terciptanya sejarah akulturasi budaya yang saat ini tetap berlangsung setiap bulan Ramadhan, yaitu pembagian takjil Bubur Samin.

Bubur Samin

pembagian takjil bubur samin di masjid darussalam jayengan surakarta
Proses pembagian bubur khas banjar yang telah disediakan oleh panitia kepada jama’ah Masjid Darussalam.
Photo : www.jatengprov.go.id

Bubur Samin merupakan menu kuliner khas Banjar yang telah melegenda di Kota Surakarta, karena hanya dapat dinikmati selama Ramadhan sejak tahun 1965. Mulanya, bubur samin dibuat oleh orang-orang Banjar yang rindu terhadap suasana lebaran di kampung halaman mereka, dengan membagikan sebuah takjil. Menu Bubur Samin dipilih karena telah menjadi menu khas Banjar yang mereka buat secara turun temurun. Pertama kali dibagikan, Bubur Samin hanya dibagikan kepada jama’ah Masjid Darusssalam saja. Namun karena peminat bubur yang gurih ini sebagai menu takjil gratis semakin meningkat, bubur ini diproduksi dalam jumlah banyak. Hingga akhirnya pembagian takjil gratis berupa Bubur Samin di Masjid Darussalam tetap berlangsung hingga hari ini. Saat ini hampir setiap bulan Ramadhan panitia pembagian bubur takjil gratis di Masjid Darussalam setidaknya menyiapkan minimal 1000 porsi bubur untuk para dibagikan.

Ikon Takjil Kota Solo

Bubur Samin telah menjadi salah satu ikon takjil / kuliner dan identitas budaya di Kota Solo, khususnya bagi warga di Jayengan. Tradisi pembagian bubur takjil gratis ini telah menjadi salah satu tradisi budaya di Jawa Tengah yang selalu dinantikan selama bulan Ramadhan. Hal ini menjadikan Bubur Samin sebagai bentuk akulturasi budaya Banjar yang sukses menjadi bagian dari tradisi kuliner di Solo.

By Ery Lukman Hadi

SEO Specialist Copywriter & Web Designer