Bagi sebagian besar masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta datangnya tanggal 1 Suro atau Sura menjadi salah satu hal yang dinanti. Tanggal 1 Suro merupakan hari pertama pada kalender Jawa yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriah (Kalender Islam). Kalender Jawa yang dimaksud merupakan kalender penanggalan Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung dari penggabungan sistem penanggalan Saka dan Hijriah. Pergantian kalender Jawa ditandai dengan perayaan malam satu Suro menuju tanggal 1 Suro (Suronan) yang dilakukan dengan berbagai acara sakral. Beberapa orang, khususnya yang memahami Kejawen menganggap malam satu suro merupakan malam yang sakral untuk masyarakat Jawa. Sebab pada malam tersebut merupakan langkah awal untuk mengarungi kehidupan pada tahun berikutnya yang mengacu pada nilai-nilai spiritual. Lantas apa saja yang sering dilakukan waktu malam satu suro?

Kirab Malam Satu Suro

Pada malam pergantian kalender Jawa Kasunanan Surakarta Hadiningrat beserta segenap warga Solo melakukan kirab Malam Satu Suro. Kirab ini dilakukan sebagai bentuk tradisi dan pelestarian budaya Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang diturunkan oleh Raja Pakubuwono X. Raja Pakubuwono X merupakan raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang melakukan kirab sebagai rutinitas mengelilingi tembok Baluwarti pada hari Selasa dan Jum’at Kliwon. Rutinitas ini kemudian dilakukan oleh kerabat Keraton Solo, hingga berkembang dan berlanjut sampai saat ini.


Perayaan kirab Malam Satu Suro dimulai pada jam 23.00 menjelang pergantian tahun atau tanggal 1 Muharram. Rute kirab dimulai dari Keraton Solo menuju Jalan Pakoe Boewono menuju Bundaran Gladag dan memutar di Benteng Vastenburg. Perjalanan kirab dilanjutkan menuju Jalan Yos Sudarso – Jalan Slamet Riyadi dan Putaran Gladag hingga kembali masuk ke keraton. Kirab ini diikuti oleh seluruh keluarga Keraton Solo beserta abdi dalem, putra-putri raja, dan kerabat-kerabat keraton. Hal yang menarik dari proses kirab ini ada pada iring-iringan Kebo Bule hingga pameran pusaka-pusaka Keraton Surakarta Hadiningrat.

Ritual Mubeng Beteng

Selain Kasunanan Kartasura Hadiningrat, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga melakukan tradisi menyambut malam pergantian tahun Hijriah. Tradisi malam satu suro yang dilakukan oleh Kertaon Ngayogyakarta berupa ritual Mubeng Beteng. Mubeng Beteng merupakan ritual malam satu suro yang dilakukan dengan mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta. Ritual Mubeng Beteng dilakukan secara sakral dengan Topo Bisu (tidak berbicara), sehingga ritual ini disebut Topo Bisu Lampah Mubeng Beteng, yang berarti berjalan tanpa suara mengelilingi benteng. Mubeng Beteng pertama kali dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh kerabat keraton hingga saat ini.

tradisi dan budaya mubeng beteng 1 suro di yogyakarta
Tradisi Mubeng Beteng pada Malam 1 Suro diikuti oleh keluarga dan kerabat Keraton Yogyakarta
Photo : jogjaprov.go.id

Ritual Topo Bisu Lampah Mubeng Beteng dilakukan oleh seluruh keluarga Keraton Yogyakarta termasuk abdi dalem, bregodo, hingga perwakilan masing-masing kabupaten / kota di Jogja. Berjalan mengelilingi benteng tanpa sepatah kata merupakan wujud dari perenungan diri terhadap segala perbuatan yang terjadi pada tahun sebelumnya. Para peserta Mubeng Beteng berjalan kaki kurang lebih 4 KM dimulai dari Bangsal Pancaniti menuju Pojok Beteng Kulon hingga Pojo Beteng Wetan dan berakhir di alun-alun utara Yogyakarta.

Ritual di Malam Suro

Ritual malam satu suro atau yang biasa masyarakat Jawa kenal dengan nama Suronan telah melekat pada tradisi masyarakat. Beberapa orang meyakini bahwa malam tersebut menjadi malam yang sakral dengan “bumbu” mistis dan klenik. Beberapa orang-orang yang menganut Kejawen bahkan melakukan ritual-ritual khusus pada malam suro seperti mencuci pusaka, bermeditasi, hingga mandi besar. Tidak sedikit juga beberapa kelompok masyarakat di Jawa melakukan berendam atau kungkum di sungai dan dilaut, khususnya laut pantai selatan Yogyakarta.

Ritual mencuci pusaka dan kungkum di pantai selatan masih banyak dilakukan oleh beberapa orang dari Semarang, Solo, Yogyakarta, Wonogiri, hingga Pacitan. Pantai Parang Kusumo menjadi salah satu tempat yang ramai sebagai tempat ritual pada malam satu suro. Selain mencuci pusaka dan kungkum, dilakukan pula larung sesaji untuk sedekah laut. Larung sesaji dan sedekah laut ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan pengharapan untuk dapat memperoleh kebaikan pada tahun yang akan datang.

Tradisi malam satu suro yang dilakukan menjadi salah satu cara melestarikan tradisi dan budaya masyarakat Jawa. Khususnya masyarakat yang tinggal di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta dan penganut Kejawen. Dari semua tradisi yang ada tentu kita dapat mengambil sisi positifnya. Yakni selalu merefleksikan diri terhadap tindakan dan perlakuan kita serta memperbaiki diri untuk memperoleh kehidupan yang baik pada tahun-tahun yang akan datang.