Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan dua provinsi yang memiliki keanekaragaman tradisi budaya yang kaya. Salah satunya adalah tradisi malam selikuran dalam berlangsungnya bulan Ramadhan hari ke-21 (dua puluh satu atau dalam bahasa jawa dibaca selikur). Tradisi malam selikuran merupakan tradisi masyarakat Jawa khususnya yang beragama Islam menyambut malam Lailatul Qadar. Malam Lailatul Qadar diyakini oleh umat muslim sebagai malam yang lebih baik daripada malam seribu bulan. Malam Lailatu Qadar terjadi pada tanggal ganjil pada hari ke-21.
Malem Selikuran atau malam selikur menjadi sebuah tradisi yang ada sejak penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Banyak orang meyakini tradisi menyambut malam selikur ini diperkenalkan oleh Wali Sanga sebagai salah satu metode dakwah. Pengenalan metode dakwah ini menjadi salah satu cara para Wali untuk mengenalkan agama Islam dengan menyesuaikan budaya masyarakat di Jawa. Pelaksanaan malam selikuran ini dilakukan dengan berdoa dan berkumpul bersama menyambut pergantian hari dari tanggal 20 Ramadhan ke tanggal 21 Ramadhan.
Namun beberapa wilayah di Yogyakarta dan Solo, pelaksanaan malam selikuran ini digunakan sebagai sarana berkumpul bersama dengan membawa sajian makanan. Makanan yang dibawa oleh masing-masing orang dikumpulkan dan didoakan bersama sebagai wujud syukur atas berjalannya bulan Ramadhan. Selain itu, ada juga yang melakukan tukar lauk yang dibawa ataupun disantap bersama-sama.
Tradisi Malam Selikuran di Keraton Solo
Solo merupakan salah satu kota yang melaksanakan tradisi malam selikuran sejak ratusan ratusan tahun yang lalu. Tradisi malam selikuran dilakukan oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang diikuti abdi dalem dan masyarakat Kota Solo. Setiap 10 hari menjelang Idul Fitri, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat melaksanakan kirab pada malam selikuran. Kirab ini dilakukan dengan membawa 1000 tumpengan untuk diarak sepanjang keraton hingga Masjid Agung Keraton Surakarta. Dalam perjalanan kirab ini biasanya diiringi dengan penerangan berupa obor dan lampu ting.
Pelaksanaan Kirab Malam Seribu Bulan
Pelaksanaan kirab malam selikuran di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat biasanya diawali dengan berdoa bersama. Tumpeng yang telah disiapkan untuk kirab didoakan oleh pemuka agama terlebih dahulu. Tumpeng yang akan dikirab biasanya berbentuk nasi gurih, sambal krecek, kedelai hitam, acar mentimun, dan cabai. Setelah selesai didoakan tumpeng akan dibawa berjalan menuju Taman Sriwedari. Setelah sampai di Taman Sriwedari tumpeng akan didoakan bersama kemudian di pasrahkan kepada Dinas Pariwisata Kota Surakarta. Pemasrahan tumpeng malam seribu bulan ini dinamakan sebagai prosesi Pasrah Tinampi Hajad Dalem Malem Selikuran Tumpeng. Setelah prosesi tersebut tumpeng akan dibagikan kepada pengunjung yang hadir pada tirakatan malam selikuran.
Tradisi malam selikuran memang sangat erat dengan budaya yang telah melekat pada setiap masayarakat di Pulau Jawa, khususnya umat muslim. Selain sebagai penambah semangat dalam menjalani ibadah selaam bulan Ramadhan, tentu tradisi ini dapat mempererat hubungan sosial antar masyarakat. Hal ini karena semua orang tanpa memandang strata sosial, jabatan, dan status berkumpul bersama dalam satu acara tradisi yang merakyat. Semoga nilai positif dari malam selikuran dapat terjaga hingga ke anak cucu, mengingat tantangan kedepan semakin berat seiring berkembangnya teknologi modern.