Tradisi Syawalan di Bukti Sidoguro Klaten

Syawal merupakan salah satu bulan dalam kalender Islam setelah berakhirnya bulan Ramadhan. Datangnya bulan Syawal diawali dengan selesainya puasa Ramadhan dan diawali dengan Hari Raya Idul Fitri. Bulan Syawal menjadi salah satu bulan istimewa bagi umat muslim di Indonesia, khususnya di Jogja, Solo, dan Semarang. Pasalnya, banyak umat muslim di Jogja, Solo, dan Semarang menyambut datangnya bulan Syawal dengan tradisi Syawalan.

Sebagai kota yang memiliki kekayaan tradisi yang kuat, Jogja, Solo dan Semarang memiliki tradisi yang unik ketika bulan Syawal tiba. Kegiatan Sywalan ini sangat menarik berbagai kalangan, karena dilaksanakan dengan meriah dan penuh kekhidmatan. Berikut beberapa tradisi syawalan di Jogja, Solo, dan Semarang yang perlu Anda ketahui.

Tradisi Syawalan Grebeg Syawal di Solo dan Jogja

Secara historis Kota Solo dan Jogja memiliki kesamaan dalam tradisi dan budaya karena bermula dari Kasunanan Islam Mataram yang sama. Tidak terkecuali dalam hal menyambut datangnya bulan Syawal dengan diadakannya Grebeg Syawal. Grebek Syawal berasal dari kata “gemrebeg atau gumerebeg” yang dalam bahasa Jawa berarti kebisingan atau kemeriahan. Tradisi Grebeg Syawal dilakukan setiap satu minggu setelah Idul Fitri. Pelaksanaan grebek syawal dilakukan dengan mengarak gunungan yang berisi hasil bumi dan makanan yang ditata dan dihias sedemikan rupa. Pembuatan gunungan ini memiliki makna sebagai rasa syukur terhadap karunai Allah SWT, serta pengharapan keberkahan atas hasil bumi yang telah diterima.

Grebeg Syawal di Solo dan Jogja dilaksanakan oleh pihak Keraton Surakarta Hadiningrat dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat beserta elemen pemerintahan dan masyarakat. Di Solo, perarakan gunungan syawalan dimulai dari Keraton Surakarta Hadiningrat menuju Masjid Sriwedari. Sedangkan di Jogja, pelaksanaan grebeg syawal dilakukan didepan pintu utama Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Isi gunungan yang diarak biasanya akan menjadi rebutan pengunjung setelah selesainya acara syawalan. Para pengunjung yang hadir akan berebut mendapatkan isi gunungan dan berharap mendapat keberkahan dari acara Grebeg Syawal.

Photo : www.jatengprov.go.id

Tradisi Syawalan di Klaten dan Boyolali

Sekilas kemeriahan tradisi syawalan di Klaten dan Boyolali sama dengan perayaan syawalan di berbagai daerah lainnya. Namun yang cukup membedakan adalah pelaksanaan syawalan di masing-masing daerah tersebut. Pelaksanaan syawalan di Klaten dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Klaten dan non-pemerintahan. Masyarakat klaten melaksanakan tradisi syawalan di Bukit Sidoguro Klaten, Krakitan Bayat. Di bukit yang mirip dengan Gardens by the Bay Singapore ini dilaksakan kirab syawal dengan membagikan gunungan ketupat, syur, buah dan opor. Acara syawalan di Bukit Sidoguro ini dimeriahkan dengan pentas seni dan budaya seperti pertunjukan tari dan wayang.

Sedangkan di Boyolali, warga Kota Susu ini menyambut datangnya bulan syawal dengan cara yang unik. Para warga Boyolali yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai peternak sapi melakukan kirab dan arak-arakan sapi mereka. Tidak hanya itu, beberapa warga di sekitar lereng gunung merapi seperti Cepogo dan Selo membuat gunungan dari buah-buahan, sayuran, dan hasil bumi lainnya. Setelah acara kirab selesai, warga boleh mengambil isi gunungan tersebut sebagai bentuk rasa syukur dan keberkahan atas hasil bumi dari Tuhan Yang Maha Esa.

Pembagian Ketupat Jembut di Semarang

Warga Semarang khususnya warga Pedurungan – Semarang Timur memiliki tradisi yang unik dalam menyambut Syawal. Tradisi Lebaran Kupat atau Ba’da Kupat yang dilaksanakan 7 hari setelah Idul Fitri dilakukan dengan pembagian Ketupat Jembut. Meski namanya sedikit vulgar dan aneh, tentu bentuk Ketupat Jembut tidak seekstrem yang Anda bayangkan. Ketupat atau Kupat Jembut ini memang berbentuk ketupat pada umumnya yang terbuat dari beras dan dibungkus anyaman daun kelapa atau janur. Yang membedakan adalah bentuk penyajiannya yang unik, yaitu dibelah dan disisipi dengan sayuran serta sambal. Sayuran yang disisipkan pada Kupat Jembut berupa kecambah atau toge yang dibubuhi dengan sambal kelapa atau urap. Ada juga belahan ketupat diisi dengan sayur-sayuran dan bumbu gudangan.

Ketupat Jembut ini merupakan salah satu tradisi peninggalan leluhur warga Semarang yang dahulu sempat kesulitan merayakan Idul Fitri. Awal mulanya ketupat ini tidak memiliki nama hingga beberapa orang melihatnya sedikit vulgar dan banyak yang menyebutnya mirip bulu kemaluan. Sehingga kudapan setiap syawal di Semarang ini disebut dengan Ketupat Jembut. Tidak hanya dapat dimakan, ketupat ini menyimpan kejutan lainnya yang ada pada pembungkusnya. Lipatan daun kelapa atau janur terdapat uang yang dibagikan khusus untuk anak-anak. Uniknya pelaksanaan pembagian Ketupat Jembut ini dilakukan setiap selesai sholat subuh di Masjid. Tanda mulai pembagian ketupat ini diawali dengan bunyi lentingan besi yang dipukul atau ketongan yang dipukul.

Demikian tradisi syawalan di Jogja, Solo dan Semarang yang perlu Anda tahu. Jika Anda ingin mengikuti semaraknya perayaan Syawalan diatas, pastikan Anda melihat jadwal pelaksanaannya yaitu H+7 setelah Idul Fitri.

By Ery Lukman Hadi

SEO Specialist Copywriter & Web Designer