Kota Solo dan Soloraya telah menjadi salh satu penyumbang konsumsi daging anjing tertinggi di Indonesia. Bahkan beberapa orang mengatakan bahwa mengonsumsi daging anjing di Kota Solo dan Soloraya merupakan sebuah tradisi yang telah ada sejak lama. Hal ini patut diaminkan mengingat tradisi makan daging anjing pernah terliput media cetak Bromartani edisi 25 Agustus 1881. Bromartani merupakan salah satu surat kabar berbahasa Jawa yang pertama kali terbit pada tahun 1855 di Kota Solo.
Majalah Bromartani pernah mengisahkan bagaimana budaya makan daging anjing ini dilakukan oleh orang-orang keturunan Tionghoa yang ada di wilayah Soloraya. Budaya makan daging anjing ini dilakukan oleh orang-orang keturunan Tionghoa dengan bermabuk-mabukan. Daging anjing dan tulang anjing menjadi salah satu camilan yang disediakan untuk menemani minum-minuman keras seperti arak dan tuak (sebagai surungan). Arak atau minuman keras lainnya yang biasa disebut omben-omben telah diproduksi oleh orang-orang keturunan Tionghoa saat itu untuk dikonsumsi sendiri, dan diminum bersama-sama. Konon katanya kebiasaan daging anjing dan mabuk-mabukan telah mendapat restu dari Kerajaan Solo waktu itu, dengan disediakannya tempat khusus bagi mereka.
Awal Mula Daging Anjing di Konsumsi
Jika menilik lebih jauh, anjing atau yang biasa disebut asu, segawon, waung hingga guk-guk ini bukan merupakan hewan asli Indonesia. Anjing merupakan hewan yang berasal dari wilayah Eropa khususnya Belanda, Portugal, dan Perancis. Anjing-anjing yang ada di Indonesia merupakan anjing yang mulanya dibawa oleh penjajah sewaktu menginvansi Indonesia kala itu. Belanda dan negara barat lain yang mulanya membawa kebiasaan mabuk-mabukan dan makan daging anjing. Kebiasaan ini kemudian dilanjutkan oleh orang-orang Tionghoa yang saat itu ada di Indonesia, khususnya Soloraya.
Alasan Tradisi Makan Daging Anjing Masih Bertahan
Hingga saat ini tradisi makan daging anjing masih dilakukan oleh orang-orang di Soloraya. Banyaknya warung-warung penjual daging anjing atau yang biasa disebut warung RW (Rica-Rica Waung) membuat konsumsi daging anjing sulit dikendalikan seiring tingginya permintaan dari konsumen. Tingginya permintaan daging anjing dapat dilihat dari penurunan populasi anjing di Kota Solo, baik anjing liar maupun anjing peliharaan. Hal ini membuat para pengepul anjing di Soloraya semakin sulit mencari pemasok lokal disekitaran Soloraya. Para pengepul ini mencari pemasok dari luar kota khususnya dari Jawa Barat, khususnya Tasikmalaya, Ciamis, dan sekitarnya. Disana anjing-anjing diternak hingga memasuki usia siap jual dan dikirim ke kota-kota yang melakukan pemesanan pembelian anjing khususnya dari pengepul di Solo dan Sragen.
Meskipun telah menjadi tradisi, mengonsumsi daging anjing selayaknya dapat dikendalikan dan dihentikan mengingat resiko bahaya yang mengintai. Proses pengolahan daging anjing mulai dari penyembelihan pemotongan, dan pemrosesan rawan menularkan rabies. Selain itu daging anjing juga menjadi media berkembangbiaknya salmonella dan cacing pita. Ada baiknya anjing hanya dipakai sebagai binatang peliharaan yang dapat menjadi sahabat dan pelindung bagi manusia.